BULAN September bagi sebagian orang di dunia sangat biasa. Tidak ada hal apapun yang spesial, tapi berbeda bagi keluarga korban pembantaian Sabra dan Shatila 30 tahun yang lalu. Masihkah ingat dengan pembantaian yang menghilangkan 3000 nyawa itu?
Pembantaian Sabra dan Shatilla dilakukan oleh kelompok Phalangis Kristen Libanon yang menjadi lawan Arab Muslim Libanon dalam peperangan yang panjang. Namun, Israel-lah yang mendukung, mengatur, dan mempersenjatai kelompok ini dari awal pelaksanaan. Dalam acara ini, Keane menggambarkan hubungan antara Phalangis dengan Israel dengan cara berikut ini:
Phalangis dipimpin oleh Bashir Gemayel yang karismatik dan tak kenal ampun. Ia adalah mitra utama Israel di Libanon. Badan intelijen Israel Mossad mengetahui dari pertemuan dengannya bahwa ia ingin “melenyapkan” masalah orang Palestina, dan sekarang ia akan segera menjadi presiden Libanon. Pemilihan Bashir mencemaskan orang-orang di kamp, namun mereka dijanjikan keamanan.
Tentara Israel, yang menjamin orang-orang Palestina di kamp bahwa tak akan ada yang terjadi atas mereka, kokoh berada di belakang Phalangis, kekuatan yang melakukan pembantaian tersebut. Sebelum pembantaian, tentara Israel mengendalikan kamp tersebut dengan mengebomnya selama berhari-hari. Kemudian mereka menutup semua pintu masuk ke kamp, melarang setiap orang tanpa izin masuk atau meninggalkannya. Mereka juga memberi Phalangis waktu dan sarana untuk melaksanakan pembantaian dengan letusan nyala api sepanjang malam yang menerangi jalan mereka, dan dengan tidak ikut campur selama 40 jam.
Ini memudahkan pembantaian yang dilanjutkan dengan menyebarkan ancaman kematian, dan dengan memukul mundur orang-orang Palestina yang mencoba meninggalkannya dan orang yang mendapat jalan keluar dan mencari bantuan. Dalam perkataan Keane, “dalam reruntuhan tempat anak-anak dikuliti, lelaki muda dikebiri.” Salah satu saksi mata yang masih hidup dari pembantaian Sabra dan Shatilla yang ikut berbicara dalam acara ini, Nabil Ahmed, menggambarkan apa yang dia alami dengan cara berikut ini:
Saya berharap menemukan keluarga saya hidup-hidup. Lalu, ketika saya mulai melihat mayat-mayat di jalanan, saya lalu menerima kenyataan bahwa saya akan bersyukur jika masih bisa menemukan mayat mereka. Anda melihat apa yang terjadi. Mereka mengumpulkan mereka di dalam rumah, kemudian membunuh mereka dan memusnahkan rumah itu ketika mereka ada di dalamnya, sehingga kita harus membongkar reruntuhan untuk menemukan mereka. Ketika menemukan mayat kerabat saya, kami tahu bahwa di sanalah tempat kejadian yang menimpa mereka.
Pembantaian yang dilakukan oleh Phalangis ini sulit digambarkan. Pernyataan seorang pejabat Israel dalam acara tersebut dengan jelas mengungkap bahwa Phalangis adalah musuh orang-orang Islam. Komandan brigade pasukan payung Israel Yoram Yair menceritakan tuntutan mengejutkan yang ia terima dari seorang Phalangis:
Ia berkata: “Bantu aku, pastikan memberiku sebanyak itu.” Saya berkata: “Apa itu?” Ia berkata: “Dengar, aku tahu bahwa kalian cepat atau lambat akan memasuki Beirut Barat. Berjanjilah padaku bahwa kalian akan membawa banyak darah orang-orang Palestina. Aku ingin meminumnya.”
Ariel Sharon, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan Israel, mengetahui setiap tahap pembantaian yang dilakukan di bawah payung keamanan tentara Israel. Keane menerangkan peran Sharon dengan kata-kata berikut ini:
Ariel Sharon datang ke Beirut pada Rabu pagi dan memastikan bahwa ada kekuatan PLO di kamp tersebut. Maka setelah berunding dengan pejabat seniornya, termasuk Amos Yuron, Komandan untuk Beirut dan kamp pengungsian, Ariel Sharon setuju dengan sebuah perintah menentukan. “Hanya satu unsur, dan itu adalah Angkatan Pertahanan Israel, yang harus memerintah kekuatan di daerah ini. Untuk operasi di kamp ini, orang-orang Phalangis harus dikirim ke dalamnya.”
Ariel Sharon datang untuk mengunjungi Phalangis di markas besarnya untuk membahas operasi Beirut… Sekarang, satu hari setelah pembunuhan pemimpin mereka, orang-orang Israel meminta Phalangis untuk menyerang kamp Palestina. Mungkinkah Ariel Sharon ragu tentang apa yang telah terjadi jika Anda mengirim Phalangis ke dalam kamp pengungsi Palestina, sebuah kamp yang tanpa pengawalan?
Keane mengajukan pertanyaan kepada banyak pejabat, kepada Morris Draper, perwakilan AS untuk Timur Tengah pada saat itu; Richard Goldstone, bekas kepala jaksa untuk Pengadilan Penjahat Perang PBB; Profesor Richard Falk dari Princeton University; dan lainnya… Mereka semuanya sepakat bahwa Ariel Sharon bertanggung jawab di tingkat pertama pembantaian tersebut dan bahwa ia adalah seorang penjahat perang.
Sebagai contoh, Goldstone menyatakan pemikirannya berikut ini: “Jika seseorang yang memberi perintah mengetahui, atau harus mengetahui fakta-fakta yang tersedia baginya tentang situasi ketika orang-orang sipil tak berdosa akan dilukai atau dibunuh, maka orang tersebut bertanggung jawab, bahkan dalam kamus saya lebih bertanggung jawab lagi dibanding orang-orang yang melakukan perintah itu.”
Ada sesi yang diberikan dalam acara ini untuk percakapan telepon yang mendukung pendapat ini. Wartawan Israel Ron Ben Yishai melaporkan sebuah percakapan antara dirinya dengan Sharon pada hari kedua sebagai berikut:
Saya mendapatinya sedang tidur di rumahnya. Ia terbangun dan Yishai berkata kepadanya: “Dengar, ada berita tentang pembunuhan dan pembantaian di kamp. Banyak pejabat yang mengetahuinya dan menceritakan pada saya tentang hal itu, dan jika mereka mengetahuinya, seluruh dunia akan mengetahuinya. Anda masih bisa menghentikannya.” Saya tidak tahu bahwa pembantaian itu benar-benar dimulai 24 jam lebih cepat. Saya pikir itu dimulai setelahnya, dan saya berkata kepadanya: “Lihat, kita masih punya waktu untuk menghentikannya. Lakukan sesuatu.” Ia tidak menjawab.
Pendeknya, meskipun ia telah mengingkarinya selama bertahun-tahun, Ariel Sharon mengetahui pembantaian itu, memutuskannya bersama-sama dengan orang-orang Phalangis, dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pembunuhan di kamp tersebut, yang berada di dalam tanggung jawabnya.
Kenyataan yang diungkap oleh kejadian ini adalah salah satu peristiwa yang telah diungkap selama bertahun-tahun oleh orang-orang yang mempelajari peristiwa tersebut lebih dekat dan orang-orang yang menjalaninya. Akan tetapi, alasan mengapa acara ini menarik begitu banyak perhatian adalah karena inilah pertama kalinya saluran yang begitu berpengaruh seperti BBC memberi pernyataan secara langsung yang menuding Israel, sehingga menuding pula Perdana Menteri Ariel Sharon.
Adapun nama Sabra dan Shatila itu dikarenakan Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah “kamp Sabra dan Shatila” menjadi biasa.
[Sumber: Islampos]
Ikuti @Smart_Newz