Ini kisah tentang seorang lelaki penjual air. Dengan sebuah pikulan kayu, setiap pagi dan sore ia membawa dua tempayan penuh air bersih yang diikatkan pada kedua ujung pikulan kiri dan kanan. Air yang diambil dari mata air di kaki gunung tersebut lalu diedarkan di perkampungan penduduk di punggung bukit. Sayang, tempayan yang ada di sebelah kiri bocor, sehingga air terus menetes.
Suatu hari sambil tetap menemani tuannya bekerja, si tempayan berkeluh-kesah, ”Saya sebenarnya malu, terus-menerus mengucurkan air sehingga Tuan harus bekerja keras. Coba kalau saya tidak bocor, Tuan tidak harus berkali-kali mengambil air ke sungai.”
Mendengar keluhan si tempayan, penjual air menyahut, ”Sudahlah, jangan risau. Kau tak perlu merasa bersalah hanya karena dirimu tidak sempurna. Sekarang, coba pikirkan juga kegunaan dari kekuranganmu.” Sang penjual air lantas berhenti sebentar di tengah jalan. Persis ketika itu air dari tempayan yang bocor mengucur ke suatu cekungan batu. ”Lihatlah, air bocoranmu yang tertampung di lubang batu itu bisa menjadi minum burung-burung dan hewan lain.”
Setelah itu penjual air meneruskan jalannya.
”Perhatikan bunga-bunga yang mekar di sepanjang kiri jalan. Karena bocoran airmu, tanah sepanjang jalan jadi gembur dan saya bisa menanami biji bunga. Tanpa sadar setiap hari kamu menyiramnya. Ternyata penduduk desa terkesan melihat indahnya bunga-bunga ini. Kemarin mereka mengupah saya untuk menanam bunga di sepanjang sisi kanan jalan dari sungai sampai ke desa mereka. Lumayan, ada tambahan pemasukan kita.”
”Jangan pernah malu karena dirimu tidak sempurna ujar si penjual air. ”Masing-masing kita punya suatu nilai yang berguna untuk kehidupan ini.” (Intisari)
Ikuti @Smart_Newz