Sekujur tubuh seorang gadis asal Blitar, Jawa Timur, berubah menjadi hitam seperti gosong setelah meminum obat dari dokter tempat dia berobat. - ilustrasi
Sekujur tubuh seorang gadis asal Blitar, Jawa Timur, berubah menjadi hitam seperti gosong setelah meminum obat dari dokter tempat dia berobat.
Di Sumatera Utara, seorang bocah berusia 5 tahun menjadi lumpuh dan bisu setelah menjalani operasi usus buntu. Di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, seorang bayi mungil mengalami demam dan muntah dengan darah terus mengalir dari luka bekas suntikan hingga akhirnya meninggal dunia.
Di Cianjur, Jawa Barat, seorang gadis cilik kelas III SD, yang diduga menderita amandel, menjalani operasi usus buntu. Hasilnya, sang bocah tidak bisa berbicara dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan.
Ini bukan cerita dalam film horor, tapi kisah nyata yang seharusnya kita segera lupakan. Namun, apa hendak dikata, semakin hari kian banyak peristiwa yang mengerikan seperti itu. Dan, semuanya diduga terjadi akibat malapraktik di dunia kedokteran Indonesia.
Peristiwa terbaru yang tak kalah memilukan dialami Ismi Nurjanah. Bocah 4 tahun ini keluar dari Rumah Sakit Santo Borromeus, Kota Bandung, Senin (21/5), dalam tandu jenazah setelah sekitar 2,5 tahun dirawat di RS tersebut.
Ismi dibawa oleh kedua orang tuanya ke Borromeus pada 26 September 2009 dengan keluhan panas tinggi dan muntah-muntah. Tim dokter lantas melakukan bedah otak dan sejak itu Ismi lumpuh, buta, dan tuli.
Peristiwa tersebut menambah panjang daftar kasus dugaan malpraktik. Tidak ada data yang cukup sahih tentang berapa kasus dugaan malpraktik yang terjadi dalam setahun. Ini karena tidak semua pihak yang dirugikan, atau menjadi korban, melapor.
Namun, menurut catatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), tiga provinsi yang paling banyak mendapat pengaduan dari masyarakat adalah Jakarta, dengan 68 kasus, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dari semua itu, ada 154 dokter bedah yang diadukan melakukan malpraktik. Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan dari Januari hingga Juli 2010 setiap bulannya ada 20 kasus malpraktik yang dilakukan dokter.
Apakah banyaknya kasus mencerminkan lemahnya sanksi terhadap terduga pelaku malpraktik? Barangkali tidak. Standar profesi yang mengatur norma perilaku pelaksana profesi yang berpedoman pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bisa dibilang cukup ketat.
Dokter yang terbukti melanggar disiplin dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP), sampai mengikuti pendidikan pelatihan ulang.
Juga ada 28 poin untuk menilai apakah seorang dokter melakukan pelanggaran profesi. Tidak memberikan informasi jujur, tidak merujuk, melakukan pemeriksaan dan pengobatan berlebihan, tidak buat rekam medik, tidak memberi pertolongan darurat, dan mengiklankan diri secara menyesatkan, masuk dalam kategori pelanggaran. Dan, dokter yang terbukti melakukan malapraktik juga terancam sanksi pidana dan perdata.
Persoalannya, ancaman sanksi hukum itu sering tidak ada apa-apanya karena kenyataannya posisi pasien lemah ketika berhadapan dengan dokter atau rumah sakit. Bahkan ketika kasus-kasus malapraktik disidangkan di pengadilan, sedikit saja yang dimenangi pihak pasien. Sebab, ketika pengadilan butuh saksi ahli, tidak banyak dokter yang mau bersaksi. Kadang, gugatan berhenti di tengah jalan karena berkas hilang di kejaksaan. Ada semacam konspirasi.
Haruskah itu dibiarkan? Jelas tidak. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat. Termasuk, misalnya, dengan aksi keprihatinan yang digelar sejumlah orang tua, yang anak-anaknya jadi korban malapraktik, di depan gerbang rumah Presiden SBY di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, pada 2007. Semua aksi itu tak meninggalkan bekas, hilang begitu saja ditelan waktu. Dan, korban-korban terus berjatuhan.
Semoga saja pengorbanan Ismi Nurjanah dan para pendahulunya membuka mata hati kita semua.
[Sumber: Inilah]
Ikuti @Smart_Newz