Ia berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu ”pro-rakyat” dan menggelorakan ”semangat perjuangan”. Ia menghapus The Old Man and the Sea—film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway—dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.Dan, ia membantu orang tua sahabatnya untuk naik haji ke Mekkah setelah tanpa sengaja sahabatnya ini “curhat” betapa sulitnya untuk bisa naik haji.
Orang ini adalah salah satu sosok jenius. Di usianya yang baru 16 tahun dia sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat yang terlibat dalam kemerdekaan Indonesia. Dan di usianya yang masih sangat muda, ia sudah menjadi anggota parlemen.
Ia adalah Njoto—yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno.
Njoto, anak seorang pengusaha kaya, berkacamata tebal, yang dianggap bung Karno seperti adik sendiri adalah seorang penulis naskah pidato Presiden Soekarno. Ya, iya merupakan orang kepercayaan Presiden Soekarno. Kedekatannya dengan Bung Karno inilah yang membuat D.N. Aidit tidak suka dan memecatnya dari kepartaian. Aidit menganggap Njoto seorang Soekarnois dan bukan komunis, sehingga rawan menggembosi partai. Di samping ini alasan skandal seks dan perselingkuhan dengan seorang gadis Rusia, dijadikan alasan kedua bagi Aidit untuk memecat pemimpin koran Harian Rakjat (surat kabar corong PKI) ini. Bagi Aidit, perselingkuhan dan poligami adalah haram bagi partai.
Hidupnya pun bertolak belakang dengan para komunis yang menekankan aspek moralitas. Makanya jadi bertanya-tanya, dia ini komunis atau bukan?
Saat tragedi kelam itu terjadi, Njoto dan Soebandrio sebenarnya sedang dalam perjalanan tugas negara keliling Sumatera. Seorang temannya mengatakan bahwa mereka kaget dengan kejadian dinihari di Jakarta tersebut. Mereka tidak menyangka.
Dan sesungguhnya, karena sudah dipecat dari partai, berarti Njoto sudah tidak punya urusan lagi dengan PKI. Namun dia juga “menanggungnya” dan ikut mati-matian membela partainya bahwa partainya tidak tahu menahu dengan pembunuhan para jenderal.
Tapi sejarah ”resmi” 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang ”setengah berdosa” dan ”berdosa penuh”. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas pelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak. Akhir riwayatnya serba kabur, karena kesaksian para tokoh yang mengenalnya mempunyai banyak versi. Makamnya dimana tidak ada yang tahu.
Istrinya yang tidak tahu menahu keterlibatan dan keberadaan suaminya terkait G30S ditahan tentara dan penguasa Orde Baru beberapa kali, dan melahirkan mengasuh anaknya di dalam bui.
Ikuti @Smart_Newz