Ilustrasi
Rencana pemerintah membangun Jembatan Selat Sunda (JSS) mengundang polemik. Hal ini mengingat biaya proyek JSS yang sangat besar sekira Rp225 trilliun di tengah perekonomian Indonesia yang sedang kesulitan berkompetisi dengan negara lain akibat infrastruktur yang tidak efisien.
"Keputusan untuk melanjutkan JSS sangat jauh dari adil, serta mengundang pertanyaan besar tentang bagaimana pemerintah mengukur prioritas alokasi anggaran," ungkap Co Founder and Managing Director Paramadina Public Policy Institute? (Pembantu Rektor Paramadina) Wijayanto di Jakarta, Senin (23/7/2012).
Wijayanto menilai, memang wacana yang diangkat saat ini adalah konsep PPP (Public Private Partnership), tetapi dengan hitungan sederhana sulit untuk menjadikan proyek tersebut feasible dari kacamata investor.
"Jika diasumsikan biaya proyek sebesar Rp225 trilliun, dengan cost of fund sebesar 10 persen pertahun, ditambah biaya asuransi, operasional dan perawatan sekitar 2 persen, paling tidak JSS harus memberikan pendapatan sekitar Rp25 triliun per tahun, atau lebih dari Rp2 triliun per-bulan, atau sekitar Rp67 miliar per-hari, sebuah angka fantastis yang sulit untuk di capai," terang Wijayanto.
Wijayanto mengkhawatirkan proyek tersebut akan terlalu membebani APBN. Lebih baik dana tersebut dialokasikan untuk memperbaiki jalan berbagai wilayah Indonesia, seperti Papua, Sulawesi dan Kalimantan yang antar ibukota propinsi-nya belum terhubung oleh jalan yang layak.
"Di kawasan sekitar JSS, yaitu Banten dan Jawa Barat, di mana mayoritas jalan penting yang merupakan urat nadi ekonomi masih jauh dari efisien," tutur Wijayanto.
Menurut Wijayanto, problem di selat sunda lebih baik didekati dengan cara konvensional, memperbaiki manajemen dermaga, jalan tol dan memperbanyak kapal fery dengan kecepatan tinggi yang melayani Merak dan Bakaehuni Lampung.
"JSS baru mulai kita pikirkan saat kita sudah benar-benar membutuhkan dan mampu," tutup Wijayanto.
[Sumber: Okezone]
Ikuti @Smart_Newz