AKSI JAHIT MULUT DEMI HARTA WARISAN YANG TERENGGUT



Fabian Januarius Kuwado Dari 28 orang pelaku jahit mulut yang telah melepaskan jahitannya, tersisa satu orang bernama Yahya yang tak bersedia melepaskan jahitan di mulutnya, Senin (2/12/2011)


JAKARTA - Tak ada perjuangan yang sia-sia. Keyakinan inilah yang dipegang teguh oleh Purwati (47) dan Yahya (57), pasangan suami istri warga Desa Lukit, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang melakukan aksi jahit mulut di depan gedung DPR/MPR.

Mereka datang bersama 82 warga lainnya dengan tujuan menuntut agar Kementrian Kehutanan mencabut SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009 tentang izin operasional HTI atas perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Dari jumlah warga tersebut, 28 di antaranya melakukan aksi jahit mulut.

Saat ditemui Kompas.com, Senin (2/12/2012), di tenda seadanya yang selama 18 hari ini menjadi rumahnya di Jakarta, Purwati mengisahkan alasannya mengapa sampai hari ini, ia bersama suaminya masih bertahan menggelar aksi demonya di Gedung DPR/MPR. "Kami di kampung punya empat hektar kebun sawit, empat hektar kebun karet dan satu hektar kebun sagu, semuanya tanah warisan leluhur. Dari situ awak dapat sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 800 ribu per bulan. Gara-gara inilah kita mau perjuangkan hak kita," ujarnya.

Menurut Purwati, harta warisan itulah kini telah diserobot PT RAPP menyusul adanya SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009 yang ditandatangani MS Kaban. Lewat SK inilah izin operasional hutan tanaman industri (HTI) PT RAPP memiliki kewenangan untuk mengubah hutan dan perkebunan milik warga menjadi hutan akasia untuk kebutuhan industri. Selain penyerobotan lahan warga, SK HTI ini juga dikawatirkan akan berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan lahan gambut di salah satu pulau kecil terluar RI tersebut.

Kekhawatiran masyarakat akan kehilangan warisan mereka membawa Purwati dan warga lainnya berada di Jakarta. "Nanti bagaimana masa depan anak cucu awak kalau lahan diambil perusahaan," ujarnya.

Menggelar aksi jahit mulut, kata Purwati, yang akhirnya melepas jahitannya karena telah ada kesepakatan dengan Kementrian Kehutanan untuk menyurati Bupati Meranti agar mencabut SK tersebut, adalah bentuk perjuangan menuntut hak mereka.

Selama berjuang di Jakarta, dia dan suaminya mengaku kerap dilanda rasa rindu kepada kelima anak mereka, terutama putrinya yang masih duduk di kelas 1 MTS, Nurhikmatun (12), dan Kurnia Romadhon (15) yang duduk di kelas satu SMA. Sementara tiga anak lainnya telah berkeluarga dan tinggal terpisah dengan dirinya. "Awak kangen sekali. Kalau lihat orang lain bawa anak tambah kangen kita. Sampai nggak bisa tidur kangen anak," ujarnya.

Selama menggelar aksinya, hubungan komunikasi dengan anak-anak mereka hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas sms. "Selama jahit mulut kan kita nggak bisa banyak cakap, jadi hanya sms saja, lumayanlah," tambahnya.

Jika Purwati dan sejumlah warga memilih menghentikan aksi jahit mulut, namun tidak dengan suaminya. Benang hitam masih mengunci bibir Yahya. Saat hendak dilepaskan, dia justru menolak melepas jahitan di mulutnya sebelum tuntutan warga sepenuhnya dikabulkan.

"Sebenarnya kasihan ngelihat bapak begini, awak sebenarnya tetap mau jahit mulut, tapi karena ada penyakit jadi terpaksa lepas," ujar Purwati sembari memijat kaki suaminya itu.

Yahya hanya bisa terbaring lemah di atas kasur tipis ditemani oleh Purwati yang sesekali memberikan susu dan roti kepada suaminya. "Harapannya supaya semua cepat selesai, supaya cepat pulang. Itulah harapan kita, kami yakin nggak ada yang sia-sia kok," ujarnya.

Purwati dengan warga lain bertekad untuk melakukan aksi jahit mulut kembali jika permasalahan haknya tak kunjung berbuah hasil.

[Sumber: Kompas.com]